Sabtu, 25 Oktober 2014

Resensi Novel Amba yang dikarang oleh Laksmi Pamuntjak

  • Judul Buku : Amba
     Penulis : Laksmi Pamuntjak
     Penerbit : Gramedia Pustaka Utama
     Cetakan : September 2012
     Tebal : 494 halaman


    Novel ini menceritakan perihal sebuah kehidupan yang merunut sejarah, laiknya arkeologis badan pada kisah ini mengambil latar belakang yang real di masa transisi---orde lama ke orde baru. Amba yang sebagai tokoh protagonis menyusuri kalang kabut kehidupan dengan kecakapan dan ekspektasinya. Di dasari ketidakpercayaannya pada insiden kematian Bhisma yang telah menjadikannya kekasih dengan benih rahim di luar nikah, membuatnya melanglang buana dengan harapan yang tak pasti. Sampai pada rasa penasaran, hingga keingintahuan mencuat untuk pengidentifikasian dengan mengeksplore ke tempat pengasingannya, yaitu Pulau Buru. Perihal memastikannya, ia telusuri jejak-jejak yang terjalin dengan Bhisma.

    Amba adalah anak dari keluarga seorang guru yang dikagumi oleh pihak sekolah, bahkan ayahnya pernah diundang untuk menghadiri pertemuan antar guru unggulan di UGM Yogyakarta. Walaupun ibunya adalah bekas kembang desa, tapi toh Amba tak begitu menggugat, malahan makin meningkatkan kreatifitasnya. Amba yang dikenalkan seseorang bernama Salwa oleh orang tuanya tak begitu mempertanggungjawabkan dan lenyap kredibilitas ketika ia menerimanya sebagai janji dan akan kasih sayang. Walaupun harus runtuh di lelaki lain yang bernama Bhisma, gejolak batin lebih mengharukan. Ketika mengalami kebingungan yang begitu kontras menapaki janji terhadap Salwa. Namun dibalik parasnya yang sederhana, ia tak kenal menyerah. Begitu berbeda dirinya dengan kedua saudara kembarnya; Ambika dan Ambalika yang agak tenang saja, monoton. Amba lebih menjunjung pendidikannya ketimbang cepat berkeluarga, dengan hasil memuaskan di tingkat sekolah menengah ia lanjutkan studinya di salah satu perguruan tinggi di Yogya, UGM. Dengan mengambil program sastra bahasa Inggris, ia mendapatkan keberungan di kampusnya. Mendapatkan lowongan kerja sampingan di sebuah rumah sakit yang berlokasi di Malang sebagai penerjemah. Di tempat itulah Amba asal-usulnya mengenal Bhisma seorang dokter lulusan dari Leipzig, Jerman Timur.

    Kehidupannya di tengah kekisruhan yang mengintai dimana-mana antara PKI dan varian organisasi sayap kiri dengan aparatus negara, yang terutama militerisme serta para agamawanman maupun kalangan masyarakat sendiri tak dapat dielakkan. Menderai berangsur menjadi makin besar dan menjadi dinamik di tengah kekacauan. Laiknya perihal api terembur angin, makin besar---menjadi stereotip yang membunuh. Itulah fenomena yang berkelebat di tengah kehidupan Amba. Bahkan menerka, sampai pada suatu pertemuan besar yang telah diformulasikan di Universitas Res Publica terpaksa tersungkur, dibubarkan dengan tembakan dan kekerasan. Terjadi malapetaka yang memisahkan antara Amba dan Bhisma di kerumunan yang berjejalkan ideologi kiri. Pengasingan bagi orang-orang yang dianggap tahanan politik telah dilegitimasikan oleh pihak negara di atas system administrasi manipulatif. Amba yang merasakan perpisahan itu mengalami keraguan dan kecemasan yang mengawang. Sampai beberapa hari ia kepikiran setelah insiden kericuhan itu berlalu. Bahkan apakah ia masih akan bertemu kembali Bhisma. Pikiran itu yang sering mencuat hadir meracau. Namun perjalanannya tak mudah ia putuskan. Dengan beberapa kenangan luka yang menggores di hatinya, ia luput dan mengenyahkan semua tentang keluarga, kerap tak mau mereka menanggung semua apa yang dihadapinya. Hanya dengan surat-menyurat, menampik segala ingkarnya. Dan Amba kecewa terhadap dirinya sendiri yang tak bisa menjaga kehormatan, kasih sayang Salwa dan orangtuanya.

    Amba menitihkan goresan luka kembali ketika sepeninggalnya Adielhard disebabkan kanker akut, yang setelah menjalani pernikahannya. Rasa rindu yang tak kunjung tersingkap, lalu pada sekitaran tahun 2006 ia pun memutuskan hendak ke pulau Buru tempat pengasingan para tahanan politik. Untuk mengidentifikasi mengapa Bhisma tak juga pulang setelah pembubaran kamp tahanan politik, dan pembebasan menyeluruh. Penasaran yang mengejuwantah mendorongnya untuk berkutat.

    Pada petualangannya, Amba meleraikan semua nasibnya kepada seluruh perjalanannya menuju Maluku. Menepis segala kekalahan sebelumnya di masa orde baru. Kini, suatu masa baru yang penuh guratan tak asri, penuh teka-teki yang harus ia jebol di tanah Maluku. Penginjakannya di tanah ada sampai di pulau Buru Amba baru mengerti dan menyadari semuanya. Dari sekian waktu menunggu tak kunjung ada kepastian, yang sebenarnya kini menjadi tersingkap. Bahwa tabir yang selama ini tertutup telah luluh dengan kebenaran. Bhisma yang dikhawatirkannya benar-benar telah mati. Ia memiliki istri anak dari kepala adat, yang bernama Mukaburung. Bhisma sang resi dihormati berkat perjuangannya pula harus rela mempertahankan dirinya sampai akhir hayatnya hingga tewas tertembak. Setelah pembubaran kamp dan pelepasan para tahanan politik, Bhisma tak langsung pulang.
  •  
    Rasa empatinya ia hendak bersolidaritas dan turun tangan untuk membantu banyak orang yang membutuhkan penyembuhan akibat perang tragedi 1999 di Maluku, terutama Pulau Buru.

    Bhisma mengerti bahwa ia seorang dokter yang harus mengimplementasikan bidang keahliannya di tengah kebutuhan yang makin terjal. Nasib akhir hidupnya pun menjadikannya sebagai korban peperangan yang dilancarkan oleh salah seorang warga yang terlibat perang. Tetapi apa daya, perjuangannya terhenti di tengah himpitan gempita dendam. Amba yang menuntut kepastian menemukan kebenaran dari keseluruhan warta yang dikabarkan banyak oleh Manalisa. Mendapati pemakamannya dan meringkik tersedu diatasnya, tiba-tiba kebimbangan meleraikan isakan rintihan yang menuai dari dalam kejujuran Amba. Sebab kehadiran Mukaburung mengacaukan semuanya, tanpa disangka terjadilah peristiwa penikaman sekaligus sayatan di heningnya pemakaman. Mereka berdua beradu nyali yang diakibatkan kesalahpahaman. Perawatan intensif diupayakan bagi mereka. Setelah penyembuhan, izin keluar dicanangkan. Dan kebebasan Amba pun menjulur. Ia tak lagi meratapi ketidakpastian, yang ia peroleh kini hal yang telah terjadi. Mengakui itu adalah keharusan. Berakhirlah kisah Amba di Pulau Buru dengan curahan yang telah terkubur. Dengan ini ketenangan kembali ke Jakarta membuatnya lebih menghangatkan.

    Novel ini berkisah dengan mengambil latar belakang sejarah dan settingan di masa pembantaian PKI memiliki bagian fragmen yang penting dari narasi besar. Keunggulannya ada pada cerita yang bernaratif corak realisme dan eksistensialisme. Mengambil latar belakang tempat-tempat yang menjadikan sejarah tetap hidup; seperti rumah sakit Waeapo, Universitas Res Publica. Plotnya diselingi estetika Srimulat dan hikmah Mahabharata yang beradengan modernisme. Bahasanya yang lugas, memudahkan mengajak berpetualang dari Pulau Jawa sampai di tanah Maluku. Sedikit satiris dan mengintrodusir dalam bercerita. Kekurangan mungkin hanya ada pada subjektif yang tak begitu fasih mengetahui perawakan orang lain secara objektif maupun subjektif. Novel ini memiliki cerita yang mengisahkan masa lalu sebagai bagian terobosan kebenaran. Hanya dengan penentuan, perjuangan dan rasa keingintahuan membawa kita membuka pandora bersejarah. Inilah kisah yang mencoba mendobrak stereotip klise selama ini yang telah menjadi mainstream dan mapan pada mayoritas masyarakat, bahwa kekacauan di masa orde baru disebabkan oleh pemberhalaan politis. Telah menjadi acuan bagi pembaca untuk sedikit mendekatkan dan meneliti lebih radikal terhadap perkembangan sejarah. Ada pengakuan di dalamnya, sebagai kebobrokan system dan mental kenegaraan.


Resensi Novel Pasung Jiwa Oleh Karangan Okky Madasari

Judul Buku : Pasung Jiwa 
Penulis : Okky Madasari 
Penerbit : Gramedia Pustaka Utama 
Cetakan : Mei 2013 
Tebal : 324 halaman 
 
 
  Di sebuah kelahirannya, Sasana telah mengalami berbagai belenggu batin. Ia terlahir sebagai seorang lelaki berada dalam lingkup keluarga yang kontras pendengaran---berbeda dengan ayah dan ibunya---menginginkan anaknya sebagai pianist yang lebih dekat terhadap musik klasikal/simfoni (dianggap benar/bagus oleh orang tua Sasana, bahkan telah sejak di dalam rahim sampainya berenggut di dunia telah didengungkannya), itulah alasan mengapa mereka setia dengan ajakan guru spesialis piano, yang sangat jauh berbeda dengan musik dangdut, dianggapnya lebih jorok dan vulgar. Perjalanan hidupnya dibuai dengan ambivalensi, yang terserang begitu beda naluri dengan ayahnya, sampai pada ketidakcocokan dan paling menyedihkan lagi, ayahnya tak mau lagi menerimanya----penyesuaian pada kehidupannya di bawah aturan main ayahnya. Bahkan harus mengalah dan tak berdaya di bawah arahan yang sebenarnya ia tak suka. Dengan membangkang ia meruntuhkan sikap menurutnya. Berkali-kali mengalami bully yang harus diterima, tak dapat ia sangkal pada penderitaannya selama sekolahnya di taraf SMA, bahkan pula sampai dia pun dewasa.
 
 Tak dapat dikesampingkan, bahwa perasaan batinnya terus dihantui ketakutan. Terkadang kejadian yang tragis pernah ia alami kembali bertarung di ingatannya, akibat simptom bully dan pelecehan seksual yang ia terima selama kisah hidupnya----arogansi teman sekolah, represifitas militer, preman pasar, hingga pada keberakhiran oleh sekelompok kaum puritan yang sok suci di bawah komando teman perjuangannya sendiri yang ia kenal baik. 
 
Di kehidupannya ambivalensi yang bercokol, terus menggerogoti dirinya, hingga pada suatu frase substansial yang terus berkontradiksi di jiwanya merekam, "Manakah Kebebasan?". Tak dapat disangsikan, bahwa yang ia terima sebagai pemasungan pada jiwanya ialah perihal tak dapat menyenangkan dirinya, yang terus-menerus diatur walaupun berkelebat dengan hal yang tak disukainya. Pertemanannya bersama Jaka Wani, didapatkannya raihan genggaman kebahagiaan yang sudah lama ia rindukan. Ia tak malu dengan penampilan yang ia gunakan, dan menjadikan dirinya begitu gemulai persis seorang wanita, itu juga awal kegembelannya. Hidup dalam perbedaan dengan sekian orang banyak begitu mengajarkannya, tak lepas mungkin akan dianggap jahat, tak wajar, dan gila, tapi toh ia menikmatinya tanpa halauan. Sampai pada nyatanya ia putuskan studinya di bangku perkuliahan. 
 
 Kerja kerasnya bersama Jaka Wani menghadapkannya pada berbagai persoalan tak kunjung usai; kekerasan, penindasan, dan varian pemasungan terhadap jiwa. Mereka tak luput mengalami kekerasan dan pembubaran paksa ketika sedang mengadakan aksi demonstrasi di sebuah pabrik yang berlokasi di Sidoarjo, setelah apa yang disebabkan penghilanhan paksa dan pelanggaran HAM oleh pihak pabrik terhadap Marsini anak Cak Man dan empat teman pekerjaan seusai memprovokasi para buruh untuk mogok dengan tuntutan kenaikan upah kerja. Represifitas militer terhadap mereka telah mendiagnosa bahwa para agen keamanan negara pun melakukan kejahatan yang menyeleweng serta kesewenang-wenangannya terhadap warganya sendiri. Tidak pada kasus itu saja; konspirasi yang dilakukan dengan sekutu para kaum yang menganggap ahli agama telah memberikan pesan yang sangat miris. Vandalis dan aksi pembongkarannya di atas namakan Tuhan sebagai dalilnya. Sebuah gambaran yang ironis. Kelihaian dalam mengatur penyisiran, para aparatus negara mendongkrak para kelompok berpanji agama agar beraksi di permukaan. 
 
 Sasana mendapatkan gairah hidupnya kembali setelah ia mengalami pembebasan dari sebuah rumah sakit jiwa yang sengaja ia dijebloskan oleh ibunya sendiri agar direhabilitasi. Pendekatannya bersama Masita yang salah seorang perawat telah menenangkan jiwanya sementara dari ketekutan yang selalu hadir dan membayanginya, apalagi yang ia alami luruh ketika Banua teman sependekamannya di rumah sakit mati dengan cara bunuh diri sebagai perihal kebebasannya. Keseringan bercakap dengan Masita-lah ia dapat melirik kembali kebahagiaan. 
 
Namun di sisi selainnya adalah Jka Wani yang terpisah dengan Sasana setelah insiden penangkapan mereka di aksi demonstrasi kala itu, terkulai dan menjalani kehidupan yang baginya begitu asing, harus diperintah. Tak hanya itu, kelakuan yang bejat menurunkan moral ia perhatikan dengan matanya sendiri. Sebagai buruh pabrik yang mempunyai atasan arogan, terpaksa mau tak mau pengorbanan dan usaha ia lakukan, sampai dipecat pun ia terima, yang terpenting kebenaran ia junjung. Jaka Wani yang hidup begitu lemah dan simpatik terhadap seseorang yang mengalami kesusahan dia dekati dan mengupayakan diri sebagai temannya. 
 
Pengalaman pada hidupnya yang selalu hadir dalam ingatannya, ialah Elis seorang PSK yang sempat di pecat karena melawan setelah mengalami tindakan intimidasi yang tak karuan di sebuah kafe tempatnya bekerja, juga Sasana yang tak luput adalah teman yang telah dianggap sebagai adiknya sendiri yang telah begitu lama waktu ia habiskan bersama mengamen di Malang. Hingga pada akhirnya Jaka Wani mengubah pola hidupnya dengan bergabung para kelompok berjubah surban yang mengedepankan perjuangan demi agama dan atas nama kebenaran Tuhan. Menerobos segala yang dianggap bi'dah dan kejahatan, diserang lalu dihancurkannya. Stereotip normatif menjadi keyakinan dasar moral yang ambigu. Sebuah evolusi diri yang katanya sudah menjanjikan, ini ilusif. 
 
Sebuah panorama yang memperlihatkan gejolak jiwa yang saling bertubrukan, diantara keinginan hasrat tubuh Sasana sebagai Sasa dan jiwanya yang meronta menggelepar terpasung. Disisi lain Jaka Wani yang telah menjauhkan dan melupakan masa lalunya yang gemerlap, menginginkan transformasi pada kehidupannya yang lebih baik. Tetapi, ketika mereka berdua telah bertemu kembali----dimana Sasana telah menjadi seorang biduan profesional yang telah lama dinantikannya dan menohok terkenal yang kini ia menitinya sebagai awal karier kebesarannya. Yang bertemu dengan kawan lamanya si Jka Wani yang kini sebagai salah satu orang dari kelompok yang berpanjikan agama sebagai dalih agar mendapatkan legalitas penyisiran berbagai tempat yang menandakan maksiat. Pertemuan inilah hatinya berkecamuk dan tertegun heran, yang harus berembuk dengan keterpaksaannya yang tak kenal siapa pun. Lirih nan kecewa yang disematkan pada diri Sasana telah mengoyak batinnya. Bahkan sampai di sebuah persidangan untuk memutuskan hukuman, pun Sasana terisak olrh kenihilan. Ibunya tak kalah jengkel, harus merasakan pula kesakitan hati dan fisik yang dialami anaknya, sampai ia begitu murka. Lalu putusan hukuman pun dijalani, setelah Sasana melakoni pengobatan dan pemeriksaan yang menyengsarakannya dikarenakan pemukulan yang dilakukan oleh kelompok Jaka Wani terhadapnya. 
 
 Nuansa kekecewaan tumbuh dalam naluri di keduanya. Bahkan Jaka Wani merasa terhina dengan ulahnya sendiri. Hingga ia memutuskan untuk bersikap empati, walaupun dirinya telah terlena dengan sikap ambiguitasnya. Ini dikarenakan suatu fenomena yang ia alami ketika kelompoknya menyerang sekte lain dengan agama yang sama, peristiwa yang tragis dan penumpahan darah tak dapat dibendung. Ia hendak beranjak menemui Sasana dalam pendekamannya di sel, lalu memohon maaf dan merasa bersalah dengan keputusan yang ia telah rumuskan. Akhirnya dengan cara liciknya, memakai jubah surban maksud menyamar dan mengajak Sasana keluar dari sel dengan alasan demi pengidentifikasian yang berpura-pura, mereka pun lolos dengan keberanian yang dituangkan. Kebebasanlah yang mereka terima terlahir dari proses yang ia perjuangkan.
 
 Novel ini memiliki keunggulan pada sebuah kisahnya yang tak carut-marut ketika bernarasi. Plot yang dihadirkan begitu memantik para jiwa yang mengembara dalam kehidupan. Penerusan hilir yang bermuara pada perjuangan memiliki fragmen tersendiri ketika bermain dengan sebuah epos yang berjalan. Memiliki kekurangan yang tidak begitu signifikan. Latar belakang yang tak mapat, direcoki dengan ambiguitas. Seperti halnya Virginia Woolf bercerita, para tokohnya tak begitu kompleks teridentifikasi lebih lanjut. Hanya ada perwujudan yang tak terlalu semrawut. Novel yang memikat, memiliki latar belakang tempat yang banyak, hingga tak menjenuhkan dan statis. Alurnya pun berselang-seling antara Sasana dan Jaka Wani bagaikan menyimpul satu sama lain. Inilah novel yang berkisah perjuangan anak manusia, yang menerobos pertanyaan fundamental, "apakah kebebasan itu?" yang menjadikannya pegangan untuk menerawang masa depannya. Bahwa belenggu selalu ada di seluruh kehidupan, kekuasaan, tubuh, ekonomi, budaya, sosial, bahkan sampai paling mendasar agama. Layak dibaca oleh siapa pun, apalagi bagi mereka yang sngat tergetar ketika melihat mirisnya kehidupan, dari kekcewaan hingga garis penindasan. bahasanya dengan diksi yang umum dan mudah, sangat fenomenal.

Rabu, 22 Oktober 2014

Perennial Pandang Raya

         Di arena kehidupan, perjuangan adalah sebuah keilhaman yang selalu ada. Bukan aebagai panggung sandiwara, candaan, ataupun hal yang disepelekan. Keberadaan hidup itu dinamis, tidak akan berhenti di titik yang sama untuk menaati statis, tapi ada hal yang memiliki beberapa konten untuk merefleksikan kehidupan. Daripada itu perjuangan harus ditegakkan diantara kehidupan yang semakin merusak.

             Perjuangan bisa dengan bentuk dan berbagai varian apapun. Selamà perjuangan itu diindahkan---dengan itu kehidupan dapat distabilkan dengan konstan. Kita tak dapat bertahan di dalam sebuah keberadaan tanpa ada perjuangan yang maujud. Di belahan dunia, bahkan sampai di pelosok-pelosok yang paling terdalam diantara kehidupan manusia, perjuangan selalu hadir dan selalu dilaksanakan, walaupun dengan wajah dan bentuk yang berbeda.

             Tak dapat dipungkiri, sebuah kehidupan yang dilancarkan oleh para manusia bebal dan bengis santlah merugikan. Lalu buat apa diam dan tertegun tanpa menoleh apapun. Sebaiknya kita mencoba menoreh tetesan baru dan mencoba melakukan perlawanan terhadap manusia yang mengalami kegundahan dengan kerakusannya. Saya tak akan jauh membuat narasi yang akan kuceritakan diantara para manusia. Kesaksian tidak akan abadi, jika hanya berakhir pada mata. Ia harus disegarkan dan dikeluarkan agar bisa menjadi perjuangan selanjutnya---selamanya. Dan saksi yang diorasikan dan didokumentasikan dalam sejarah, lalu disebar kemana-mana adalah bukti suatu perjuangan yang tetap hidup. Walaupun terkadang sejarah menyembunyikannya, tapi toh kebenaran tetap abadi.

             Ada cerita yang bukan hanya sebuah fragmen tanpa ada de facto. Ia adalah narasi keabadian yang sampai saat ini, bahkan akan selamanya hidup. Yaitu perjuangan Pandang Raya yang berlokasi di tengah-tengah himpitan bisingnya kota Makassar, Sulawesi Selatan (celebes). Berawal dari lebih 10 tahun yang lalu, warga Pandang Raya yang berlokasi di tempat mengalami keguncangan akan ada sebuah isu tentang maraknya penggusuran yang mulai mengendap ke tempat tinggalnya. Tapi, para warga Pandang Raya tak bergeming dan tak goyah sedikitpun. Sekitaran tahun 1998 adalah awal hadirnya pengklaiman lahan sengketa Pandang Raya. Dengan seotang penggugat adalah juga seorang pemodal mencoba berkelakar sertaa mengklaim atas tanah seluas 4900 m2 yang dihuni sebanyak 46 KK. Diduga yang sampai saat ini teridentifikasi dari seorang nama yang ada dibalik kejahatan pemodal itu adalah Goman Waisan, yang mencoba mengklaim dan menghugat pemukiman warga.

              Hari-hari terus berlalu, berbulan-bulan, hingga sampai bertahun-tahun perjalanan perjuangan warga tetap bertahan. Dan selalu saja proses hukum dalam klaim suatu kepemilikan tanah selalu dan selalu berlangsung timpang dan tidak berimbang, sehingga para warga selalu saja menerima vonis yang menyebabkan segalanya tidak diketahui apa yang terjadi di belakangnya. Niscaya kebenaran selalu ada, buktinya dari pengalaman eksekusi yang terus berlangsung selalu mengalami kegagalan. Keberlangsungan eksekusi diawali pada tanggal 12 November 2009, yanh kefua berlangsung 30 November 2009, dan eksekusi yanh ketiga berlangsung pada 23 Februari 2010. Dan selalu saja eksekusi yang dilaksanakan terjadi kegagalan dikarenakan cacat hukum dan proses pengadilan yang cacat pula.

               Para warga Pandang Raya dam seluruh kawan-kawan yang selalu setia pada perjuangan dan yang telah membentuk selama ini Aliansi Masyarakat Anti Penggusuran (AMARA) tak akan menyerah sampai kapanpun. Perjuangan kami berkobar dan terus membesar dengan kesetiaan kami pada kebenaran. Bahkan kawan-kawan AMARA sebelumnya telah merilis sebuah pernyataan sikap, yang berisikan poin-poin penting yang dicantumkan bahwa tanah warga Pandang Raya tak dapat dieksekusi:
1. Lokasi yang diklaim oleh pihak penggugat (persil No S2 a. SII Kohir No 2160.CI.Lokasi Jalan Hertasning Kelurahan Panaikang, Kecamatan Panakukang) sangatlah berbeda dengan lokasi yang dihuni oleh warga tergugat/pandang raya (No. Persil S251 Kohir 124ICI Kelurahan Pandang, Kecamatan Panakukang). Dan ini telah diperkuat oleh surat keterangan kantor kelurahan pandang yang telah ditandatangani oleh lurah yang tetkait.
2. Pernyataan yang ada dalam surat keterangan oleh camat panakukang tertanggal 16 Desember 2009 yang telah ditandatangani oleh camat A. Bukti Djufri SP, M, Si dengan menyatakan bahwa lokasi pihak menggugat (Goman Waisan) tidak ada dalam buku F di kantor kecamatan panakukang dan persil kohir warga sangatlah berbeda dengan apa yang tercantum pada objek eksekusi.
3. Klaim pihak penggugat yang telah menyatakan serta melakukan pembelian dan pengukuran tanah bersama pemilik atas nama H. Abd. Asis Bunta ditahun 1994 adalah palsu dan kebohongan yanh dusta. Karena pemilik tersebut telah wafat di tahun 1993 yang dibuktikan dengan surat kematian.
4. Dan selanjutnya begitu banyak bukti administratif tertulis yang turut mendukung surat keterangan dari kelurahan pandang tentang objek yang salah sasaran. Misalnya, surat pernyataan Kepala BPN, H. M. Natsir Hamzah, MM. Tertanggal 18 Desember 2009: surat rekomendasi KOMNAS HAM No. 727/K/PMT/III 2010  tertanggal 30 Maret 2010 yang meminta Mahkamah Agung RI untuk menindaklanjuti laporan dari LBH Makassar sebagai kuasa hukum AMARÀ: Fatwa Mol No. 262/PAN :145/C/10/FK.RED tertanggal 20 April 2010 yàng meminta PN Makassar selaku eksekutor tanah warga Pandang Raya untuk memperjelas lokasi objek eksekusi yang dianggap salah alamat oleh penasehat hukum tergugat.
Namun apa yang direkomendasikan tak pernah diindahkan dan di proses selayaknya. Hingga surat keterangan eksekusi keluar lagi pada tanggal 12 September 2014.

             Warga Pandang Raya tidak akan pernah menyerah sampai kapanpun. Walaupun kami tetap merasakan ancaman dan kedustaan yang disodorkan oleh pemodal dan negara, kami tetap bertahan dengan perjuangan kami dan kebenaran. Ditengah kebisingan kota yang coba kita amati dari pemukiman warga yang sederhana namun nampak begitu indah nan damai---kami selalu melihat  bahwa memang dunia sedang-sedang tidak baik-baik saja. Kota yang selalu dirias dan dikemas segala rupa miniatur yang coba dilukiskan dengan kebohongan dan kerakusan antar negara dan para korporasi pemodal selalu saja bersolek dengan hasrat sensualnya yang menjijikkan. Apakah demi pembangunan harus ada korban? Kami tak percaya dengan pembangunan yang seperti itu. Kami lebih mencintai kemanusiaan yang dapat hidup bersama saling berbagi bersama alam. Kami membenci dan mengutuk pembangunan yang melahirkan korban.

                 Tempat pemukiman warga Pandang Raya berdiri di tengah himpitan gedung-gedung yang merias kota. Tapi bukan berarti bahwa kami seenaknya disingkirkan disebabkan sebuah paembangunan yang didasari oleh kaum pemodal. Kami memiliki anak yang harus sekolah dan berpendidikan selama ini. Kami memliki perempuan-perempuan yang harus dijaga dengan stabilitas kehidupan. Para lelakinya telah bekerja dengan mencari nafkah di tempat yang telah lama kami beradaptasi dengan matapencaharian kami disini. Walaupun pekerjaan kami sederhana dari kehidupan masyarakay miskin kota yang harus berjuang. Dengan ini kami mengecam kepada pemodal dan negara, dan selalu kami ingatkan kepada kalian bahwa objek sasaran eksekusi sanhatlah salah. Kami tidak akan menyerah. Sebab kami layak di tempat ini. Dan tanah Tuhan untuk rakyat, bukan untuk pemodal.

Minggu, 12 Oktober 2014

Pengaruh Budaya Asing Terhadap Keutuhan dan Persatuan Bangsa


          Di dalam ranah kehidupan, kebudayaan adalah sub-sub yang penting dari domain kehidupan. Tidak ada sebuah peradaban yang berkembang, melejitkan sebuah kemajuan maupun yang mengalami keruntuhan akibat dilanda kebiadaban (secara internal ataupun eksternal) tanpa didasari sebuah kebudayaan. Sejarah panjang telah mendeskripsikan sebuah peta kebudayaan dari latar belakang manapun. Mulai dari kebudayaan itu melesat mengalami perkembangan, hingga ada pula yang mengalami keruntuhan lalu lenyap, sehingga hanya ada artefak-artefak dan hasil-hasil arkeologis lainnya yang menandakan adanya sebuah kebudayaan yang tertimbun dan telah hilang. Daripada itu adapun akuisisi yang mengadopsi sebuah kebudayaan, yang antara lain adalah perihal sebuah transformatif kebudayaan yang diiringi dengan kultur yang lama.

           Jika penemuan-penemuan arkeologis adalah sebuah simbol dari pengklaiman bahwa adanya sejarah kebudayaan yang mengalami keruntuhan, itu dikarenakan lahirnya intervensi antar-kebudayaan; selain memiliki alasan bahwa telah hilangnya perasaan emosional terhadap etnis tertentu. Dilihat dari sudut pandang sosial politis yang terkait dengan lahirnya intervensi kebudayaan, disebabkan oleh memulainya peristiwa penyebaran ajaran yang akan menghasilkan dampak; antara lain pemerolehan sintesis dan dialektika silang kebudayaan. Sebaliknya, yang memberikan gejala lain dari sebuah intervensi kebudayaan, ialah dampak yang akan lebih mengerikan. Adalah kebudayaan yang memiliki hasrat menguasai, sehingga menempatkan pemusnahan di tubuh etnisitas tetentu. Gejala inilah yang memberikan traumatik dan ancaman yang terkadang sebahagian masyarakat menjauhkan dirinya dari emosional kebudayaan. Inilah dampak dari invasi dan ekspansi yang akan mengakibatkan eksekusi antar kebudayaan. Namun ini tak dapat dinegasikan, bahwa pengaruh-pengaruh budaya terhadap budaya lain tidaklah memiliki kepastian apa dampaknya. Dampak ataupun gejala apa yang akan diperoleh hanya dapat diatasi oleh bagaimana kuatnya resistensi dari sebuah budaya.

           Apabila kita merunut sejarah, kita menemukan penyusuran peta-peta yang mengindikasikan jalur-jalur kebudayaan. Memberikan informasi dari segala faktor serta rangkaian formulasi yang memetakan peristiwa intervensi kebudayaan. Misalnya, rangkaian dari metodologi cara penyebaran kebudayaan Islamis kepada setiap wilayah (tersebar diman-mana tanpa adanya batas geografis maupun teritorial), tidak harus membasmi dan memusnahkan dari setiap budaya leluhur yang telah menetap dari setiap wilayahnya.Yang awalnya masyarakat pribumi menganut kepercayaan animisme dan adapula yang mengkultuskan keyakinan pagan anti-semitisme, selain itu ada yang Majusi. Namun, kebudayaan Islamis telah mampu bersimpatik kepada khalayak umum. Sejarah panjang telah mencatat, bahwa selain adanya kekisruhan antar-agama maupun kebudayaan yang di provokasi oleh agen-agen tertentu, ia mampu mengadaptasi ke setiap wilayah manapun dengan berbagai cara yang mampu diterima oleh berbagai kalangan masyarakat. Bahkan lebih dapat menuai sebuah transformatif yang menyandingkan sub-kultur tanpa menciptakan rasisme dan fasisme di bagian tertentu. Etos Islamis mampu mengakomodir kebudayaannya yang didasari oleh agamis dengan menggeluti setiap persilangan antar etnis, misalkan kemampuannya memadukan kulturalnya dengan kebudayaan Persia, Mesopotamia, Babylonia, Yunani Kuno, Alexandria, Konstantinopel, Andalusia, bangsa-bangsa di Europe dan bangsa-bangsa yang ada di benua Asia, bahkan sampai saat ini mengalami dinamika yang menyebar di bangsa manapun.

           Dari gradasi tahapan proses yang telah menyemaikan pengaruh budaya asing terhadap sebuah bangsa pribumi, terkadang memberikan kekecewaan yang tak kalah mirisnya dari intervensi kebudayaan. Pada dasarnya budaya asing memiliki landasan yang sama terkait bagaimana mempengaruhi setiap budaya yang ada dari luar dirinya. Ia memiliki akses penyebaran yang terorganisir di dalam pengaturannya. Namun daripada itu, sebuah arogansi mampu di abdikan di dalam ketentuan-ketentuan dan kepentingan tertentu. Metodologi baru sebagai proses penyebarannya telah memberikan kondisi dan kecenderungan yang berbeda dari tindakannya. Perihal situasi yang krusial telah menerka dan mengganggu stabilitas sebuah bangsa, bukan saja pada ranah itu. Bahkan keharmonisan suatu budaya harus mengalami pengikisan secara gradual.

          Jika di mana modernisme dan westernisasi yang didasari sekularisme mengalami perluasan bahkan menyentakkan arogansinya dengan habitus adikuasa-nya yang otoriter kepada bangsa-bangsa dunia ketiga yang masih menjaga estetis kultur leluhurnya, ini akan mengakibatkan efek yang sangat serius terhadap pengikisan bahkan mengalienasi masyarakat yang mencoba melestarikan budayanya. Bukankah Kongsi Perdagangan Hindia Timur (Vereenigde Oostindische Compagnie atau VOC) telah memberikan suplemen gambaran yang merugikan sepanjang invasinya. Pengambilan rempah-rempah, menyiksa para masyarakat pribumi, dan memonopoli dengan sedemikian rupa hingga harus mengorbankan begitu banyak nyawa selama masa kolonialismenya 3 setengah abad di tanah Indonesia. Para masyarakatnya yang pada mulanya bersatu melawan penjajahan ini dapat diterka dengan memberikan isu perang saudara, hingga pengaduan domba menyergap di tengah masyarakat pribumi.

              Lalu apa yang terjadi dengan pengaruh budaya asing kepada masyarakat pribumi Indonesia di mana masa ketika kecenderungan sebahagian dunia mengambil alih paham Komunisme, setelah beranjaknya Marxisme di dunia yang membutuhkan perlawanan kepada bangsa-bangsa yang berandil di negara-negara yang ingin berkuasa. Sebenarnya ini adalah tindakan yang mengecewakan dan kesalahpahaman yang benar-benar tak berdasar dari teori Komunis, namun tendensius ini telah direduksi menjadi ideologi oleh segelintir orang yang menjustifikasi sebagai Marxis. Misalnya, bagaimana pengaruh budaya Komunisme di Uni Sovyet yang di pimpin oleh Stalin dan diorganisir oleh Vladimir Lenin pasca revolusi Bolsheviks yang diakhiri dengan pengkhianatan, telah mempengaruhi proses pergerakan para pemberontak yang bergaun Komunis di Indonesia. Yang di pimpin oleh D. N. Aidit, Musso serta ada Semaoen melakukan pemberontakan yang terjadi di Madiun dan di beberapa titik tempat selama jangka periode yang berbeda.

              Setelah itu budaya asing dengan wajah yang berbeda pun meraup tanah pertiwi dengan adanya konspirasi di antara perselingkuhan para orang petinggi Indonesia dengan pihak asing. Organisasi-organisasi pun ikut terlibat dalam peranannya sebagai tokoh eksekusi yang tak kenal ampun. Sebahagian masyarakat yang melibatkan diri dalam agenda dan menganut paham Komunisme, ia harus mengalami insiden yang mengenaskan oleh bangsa dan masyarakatnya sendiri. Pembantaian dan pembunuhan secara brutal telah terjadi di mana-mana, antara lain di Sumatra, Jawa, Kalimantan, Bali, dan daerah lainnya. Soeharto sebagai petinggi berikutnya pun mengambil alih kebijakan negara setelah masa transisi yang dia sendiri adalah dalang konspirasi dengan pihak asing (adalah intervensi Amerika Serikat, CIA). Rezim orde baru dipenuhi dengan ancaman dan ketakutan yang mendalam, yang di rasakan oleh masyarakat pribumi. Namun apa yang terjadi. Fakta yang berkembang adalah ketidakmerataannya kesejahteraan bangsa. Bangsa Indonesia yang kaya sumber daya alam dan memiliki badan usaha sendiri harus dinikmati oleh pihak asing, dan di jual dengan korporasi kapital yang merambah sampai ke kultur Indonesia. Bahkan beberapa orang Indonesia yang menjadi agen mafia berkeley seperti Sumitro Djojohadikusumo, Emil Salim, Ali Wardhana dan para agen lainnya memporak-porandakan signifikansi bangsa Indonesia, dengan alasan bahwa akan menstabilkan bangsa, namun yang terjadi adalah dampak yang mengecewakan berkepanjangan.

              Bukan saja itu, setelah berakhirnya orde baru pengaruh budaya asing tidak berhenti di sini. Formulasi yang berkecamuk dalam ranah kebudayaan memiliki wajah yang paling baru. Trem-trem yang mempengaruhi mindset masyarakat luas hampir rata menerimanya tanpa adanya pertimbangan. Misal, budaya konsumeris yang menyebar di dunia, telah di pasok ke dalam negeri, yaitu budaya-budaya yang ada di Indonesia. Kultur yang diturunkan oleh leluhurnya mulai terkikis dan tersudutkan oleh perkembangan westernisasi. Lalu bagaimana dengan budaya lokal yang mulai terkikis?

               Persatuan bangsa dan keutuhan dapat terjaga, jika suatu resistensi dengan terjaganya budaya lokal yang ada di seluruh penjuru Indonesia. Kita tak dapat menegasikan dan memungkiri bahwa hal ihwal peradaban yang berkembang laju global kita mencoba menutup diri. Namun ada yang namanya pembukaan diri dan mengenalkan budaya lokal kita. Di antara varian budaya yang ada di Indonesia memiliki landasan yang sama, yaitu mencintai kemanusiaan dan alam semesta agar tetap lestari. Untuk apa kita memakai kelimpahan yang ada pada budaya westwrnisasi yang memang pada dasarnya di dorong oleh kepentingan akumulasi modal dan pengeksploitasian sebuah bangsa di dunia ketiga.  Kecuali kita memakai dengan dasar kebutuhan, bukan sebagai faktor kesengajaan yang seolah-olah dibutuhkan karena setelah media mencoba mempromosikan, terus kita memakai dan ingin menggunakannya. Ini adalah alienasi. Sebab itu bukanlah kebutuhan yang fundamental.

             Terus tak ada bedanya dengan budaya asing yang berlatar belakang asia, contoh Korea yang mengidentifikasikan budaya pop yang merembet sampai ke kehidupan seharian, bahkan harus menjadi rutinitas bagai sebuah ritus keagamaan. Ini adalah kesenjangan yang harus dirubah dengan paradigma yang terkontrol. Budaya Hindu di mana kemenangan revolusi India dikarenakan para masyarakatnya bersatu dan bersepakat bahwa barang milik kolonial Inggris tak perli di pakai, inilah kegagalan yang dialami kolonial. Pada dasarnya kita telah berbeda dari sisi kebudayaan, sosial, geografis, dan kemasyarakatannya. Lalu untuk apa mempertahankan budaya asing yang hanya mencoba mencakup kekayaan dan melakukan akumulasi pemberdayaan dengan kepentingannya sendiri. Keutuhan dan persatuan bangsa tidak akan terjamin tanpa adanya kemerdekaan sepenuhnya sebuah bangsa. Kita merasa seolah-olah merdeka, namun dibalik itu kita telah menjadi masyarakat konsumen di dunia ketiga ini. Kemiskinan menelan berbagai perihal-perihal kebebasab dalam bermusyawarah, sebab ketundukan secara tak sadar telah teragitasi oleh kemapanan budaya pop. Secara psikologis dan fisikal hingga terpengaruh sampai ke sum-sumnya. Inilah yang perlu di verifikasi dan dievaluasi kembali nalar budaya populer dan kesenjangan budaya asing yang menegasikan sendi-sendi penting kehidupan.
                               sumber gambar: google. mengidentifikasikan kecemasan the lokal wisdom terhadap budaya asing yang merugikan.

             Saya tak akan memberikan kesimpulan yang statis. Di balik dari semua pernyataan yang kudeskripsikan sebagai narasi dari beberapa fragmen, tak semestinya berhenti di titik yang salah. Perlu dan pentingnya aktualisasi yang mampu di upayakan demi sebuah keutuhan dan persatuan bangsa di tingkatkan, bukan saja di ranah antar kelompok hanya sebagai masyarakat bangsa Indonesia. Harus mementingkan bagaimana kita mampu bersimpati, dan toleransi antar budaya lokal dan agama saling terjalin di antara kita.


"Tulisan ini dibuat untuk mengikuti Unidar Blog Competition 2014 dalam rangka memperingati Hari Sumpah Pemuda yang ke-86 tahun 2014. Tulisan adalah karya saya sendiri dan bukan merupakan jiplakan.“