Sabtu, 25 Oktober 2014

Resensi Novel Pasung Jiwa Oleh Karangan Okky Madasari

Judul Buku : Pasung Jiwa 
Penulis : Okky Madasari 
Penerbit : Gramedia Pustaka Utama 
Cetakan : Mei 2013 
Tebal : 324 halaman 
 
 
  Di sebuah kelahirannya, Sasana telah mengalami berbagai belenggu batin. Ia terlahir sebagai seorang lelaki berada dalam lingkup keluarga yang kontras pendengaran---berbeda dengan ayah dan ibunya---menginginkan anaknya sebagai pianist yang lebih dekat terhadap musik klasikal/simfoni (dianggap benar/bagus oleh orang tua Sasana, bahkan telah sejak di dalam rahim sampainya berenggut di dunia telah didengungkannya), itulah alasan mengapa mereka setia dengan ajakan guru spesialis piano, yang sangat jauh berbeda dengan musik dangdut, dianggapnya lebih jorok dan vulgar. Perjalanan hidupnya dibuai dengan ambivalensi, yang terserang begitu beda naluri dengan ayahnya, sampai pada ketidakcocokan dan paling menyedihkan lagi, ayahnya tak mau lagi menerimanya----penyesuaian pada kehidupannya di bawah aturan main ayahnya. Bahkan harus mengalah dan tak berdaya di bawah arahan yang sebenarnya ia tak suka. Dengan membangkang ia meruntuhkan sikap menurutnya. Berkali-kali mengalami bully yang harus diterima, tak dapat ia sangkal pada penderitaannya selama sekolahnya di taraf SMA, bahkan pula sampai dia pun dewasa.
 
 Tak dapat dikesampingkan, bahwa perasaan batinnya terus dihantui ketakutan. Terkadang kejadian yang tragis pernah ia alami kembali bertarung di ingatannya, akibat simptom bully dan pelecehan seksual yang ia terima selama kisah hidupnya----arogansi teman sekolah, represifitas militer, preman pasar, hingga pada keberakhiran oleh sekelompok kaum puritan yang sok suci di bawah komando teman perjuangannya sendiri yang ia kenal baik. 
 
Di kehidupannya ambivalensi yang bercokol, terus menggerogoti dirinya, hingga pada suatu frase substansial yang terus berkontradiksi di jiwanya merekam, "Manakah Kebebasan?". Tak dapat disangsikan, bahwa yang ia terima sebagai pemasungan pada jiwanya ialah perihal tak dapat menyenangkan dirinya, yang terus-menerus diatur walaupun berkelebat dengan hal yang tak disukainya. Pertemanannya bersama Jaka Wani, didapatkannya raihan genggaman kebahagiaan yang sudah lama ia rindukan. Ia tak malu dengan penampilan yang ia gunakan, dan menjadikan dirinya begitu gemulai persis seorang wanita, itu juga awal kegembelannya. Hidup dalam perbedaan dengan sekian orang banyak begitu mengajarkannya, tak lepas mungkin akan dianggap jahat, tak wajar, dan gila, tapi toh ia menikmatinya tanpa halauan. Sampai pada nyatanya ia putuskan studinya di bangku perkuliahan. 
 
 Kerja kerasnya bersama Jaka Wani menghadapkannya pada berbagai persoalan tak kunjung usai; kekerasan, penindasan, dan varian pemasungan terhadap jiwa. Mereka tak luput mengalami kekerasan dan pembubaran paksa ketika sedang mengadakan aksi demonstrasi di sebuah pabrik yang berlokasi di Sidoarjo, setelah apa yang disebabkan penghilanhan paksa dan pelanggaran HAM oleh pihak pabrik terhadap Marsini anak Cak Man dan empat teman pekerjaan seusai memprovokasi para buruh untuk mogok dengan tuntutan kenaikan upah kerja. Represifitas militer terhadap mereka telah mendiagnosa bahwa para agen keamanan negara pun melakukan kejahatan yang menyeleweng serta kesewenang-wenangannya terhadap warganya sendiri. Tidak pada kasus itu saja; konspirasi yang dilakukan dengan sekutu para kaum yang menganggap ahli agama telah memberikan pesan yang sangat miris. Vandalis dan aksi pembongkarannya di atas namakan Tuhan sebagai dalilnya. Sebuah gambaran yang ironis. Kelihaian dalam mengatur penyisiran, para aparatus negara mendongkrak para kelompok berpanji agama agar beraksi di permukaan. 
 
 Sasana mendapatkan gairah hidupnya kembali setelah ia mengalami pembebasan dari sebuah rumah sakit jiwa yang sengaja ia dijebloskan oleh ibunya sendiri agar direhabilitasi. Pendekatannya bersama Masita yang salah seorang perawat telah menenangkan jiwanya sementara dari ketekutan yang selalu hadir dan membayanginya, apalagi yang ia alami luruh ketika Banua teman sependekamannya di rumah sakit mati dengan cara bunuh diri sebagai perihal kebebasannya. Keseringan bercakap dengan Masita-lah ia dapat melirik kembali kebahagiaan. 
 
Namun di sisi selainnya adalah Jka Wani yang terpisah dengan Sasana setelah insiden penangkapan mereka di aksi demonstrasi kala itu, terkulai dan menjalani kehidupan yang baginya begitu asing, harus diperintah. Tak hanya itu, kelakuan yang bejat menurunkan moral ia perhatikan dengan matanya sendiri. Sebagai buruh pabrik yang mempunyai atasan arogan, terpaksa mau tak mau pengorbanan dan usaha ia lakukan, sampai dipecat pun ia terima, yang terpenting kebenaran ia junjung. Jaka Wani yang hidup begitu lemah dan simpatik terhadap seseorang yang mengalami kesusahan dia dekati dan mengupayakan diri sebagai temannya. 
 
Pengalaman pada hidupnya yang selalu hadir dalam ingatannya, ialah Elis seorang PSK yang sempat di pecat karena melawan setelah mengalami tindakan intimidasi yang tak karuan di sebuah kafe tempatnya bekerja, juga Sasana yang tak luput adalah teman yang telah dianggap sebagai adiknya sendiri yang telah begitu lama waktu ia habiskan bersama mengamen di Malang. Hingga pada akhirnya Jaka Wani mengubah pola hidupnya dengan bergabung para kelompok berjubah surban yang mengedepankan perjuangan demi agama dan atas nama kebenaran Tuhan. Menerobos segala yang dianggap bi'dah dan kejahatan, diserang lalu dihancurkannya. Stereotip normatif menjadi keyakinan dasar moral yang ambigu. Sebuah evolusi diri yang katanya sudah menjanjikan, ini ilusif. 
 
Sebuah panorama yang memperlihatkan gejolak jiwa yang saling bertubrukan, diantara keinginan hasrat tubuh Sasana sebagai Sasa dan jiwanya yang meronta menggelepar terpasung. Disisi lain Jaka Wani yang telah menjauhkan dan melupakan masa lalunya yang gemerlap, menginginkan transformasi pada kehidupannya yang lebih baik. Tetapi, ketika mereka berdua telah bertemu kembali----dimana Sasana telah menjadi seorang biduan profesional yang telah lama dinantikannya dan menohok terkenal yang kini ia menitinya sebagai awal karier kebesarannya. Yang bertemu dengan kawan lamanya si Jka Wani yang kini sebagai salah satu orang dari kelompok yang berpanjikan agama sebagai dalih agar mendapatkan legalitas penyisiran berbagai tempat yang menandakan maksiat. Pertemuan inilah hatinya berkecamuk dan tertegun heran, yang harus berembuk dengan keterpaksaannya yang tak kenal siapa pun. Lirih nan kecewa yang disematkan pada diri Sasana telah mengoyak batinnya. Bahkan sampai di sebuah persidangan untuk memutuskan hukuman, pun Sasana terisak olrh kenihilan. Ibunya tak kalah jengkel, harus merasakan pula kesakitan hati dan fisik yang dialami anaknya, sampai ia begitu murka. Lalu putusan hukuman pun dijalani, setelah Sasana melakoni pengobatan dan pemeriksaan yang menyengsarakannya dikarenakan pemukulan yang dilakukan oleh kelompok Jaka Wani terhadapnya. 
 
 Nuansa kekecewaan tumbuh dalam naluri di keduanya. Bahkan Jaka Wani merasa terhina dengan ulahnya sendiri. Hingga ia memutuskan untuk bersikap empati, walaupun dirinya telah terlena dengan sikap ambiguitasnya. Ini dikarenakan suatu fenomena yang ia alami ketika kelompoknya menyerang sekte lain dengan agama yang sama, peristiwa yang tragis dan penumpahan darah tak dapat dibendung. Ia hendak beranjak menemui Sasana dalam pendekamannya di sel, lalu memohon maaf dan merasa bersalah dengan keputusan yang ia telah rumuskan. Akhirnya dengan cara liciknya, memakai jubah surban maksud menyamar dan mengajak Sasana keluar dari sel dengan alasan demi pengidentifikasian yang berpura-pura, mereka pun lolos dengan keberanian yang dituangkan. Kebebasanlah yang mereka terima terlahir dari proses yang ia perjuangkan.
 
 Novel ini memiliki keunggulan pada sebuah kisahnya yang tak carut-marut ketika bernarasi. Plot yang dihadirkan begitu memantik para jiwa yang mengembara dalam kehidupan. Penerusan hilir yang bermuara pada perjuangan memiliki fragmen tersendiri ketika bermain dengan sebuah epos yang berjalan. Memiliki kekurangan yang tidak begitu signifikan. Latar belakang yang tak mapat, direcoki dengan ambiguitas. Seperti halnya Virginia Woolf bercerita, para tokohnya tak begitu kompleks teridentifikasi lebih lanjut. Hanya ada perwujudan yang tak terlalu semrawut. Novel yang memikat, memiliki latar belakang tempat yang banyak, hingga tak menjenuhkan dan statis. Alurnya pun berselang-seling antara Sasana dan Jaka Wani bagaikan menyimpul satu sama lain. Inilah novel yang berkisah perjuangan anak manusia, yang menerobos pertanyaan fundamental, "apakah kebebasan itu?" yang menjadikannya pegangan untuk menerawang masa depannya. Bahwa belenggu selalu ada di seluruh kehidupan, kekuasaan, tubuh, ekonomi, budaya, sosial, bahkan sampai paling mendasar agama. Layak dibaca oleh siapa pun, apalagi bagi mereka yang sngat tergetar ketika melihat mirisnya kehidupan, dari kekcewaan hingga garis penindasan. bahasanya dengan diksi yang umum dan mudah, sangat fenomenal.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar