Judul Buku : Pasung Jiwa
Penulis : Okky Madasari
Penerbit : Gramedia Pustaka Utama
Cetakan : Mei 2013
Tebal : 324 halaman
Di sebuah kelahirannya,
Sasana telah mengalami berbagai belenggu batin. Ia terlahir sebagai
seorang lelaki berada dalam lingkup keluarga yang kontras
pendengaran---berbeda dengan ayah dan ibunya---menginginkan anaknya
sebagai pianist yang lebih dekat terhadap musik klasikal/simfoni
(dianggap benar/bagus oleh orang tua Sasana, bahkan telah sejak di dalam
rahim sampainya berenggut di dunia telah didengungkannya), itulah
alasan mengapa mereka setia dengan ajakan guru spesialis piano, yang
sangat jauh berbeda dengan musik dangdut, dianggapnya lebih jorok dan
vulgar. Perjalanan hidupnya dibuai dengan ambivalensi, yang terserang
begitu beda naluri dengan ayahnya, sampai pada ketidakcocokan dan paling
menyedihkan lagi, ayahnya tak mau lagi menerimanya----penyesuaian pada
kehidupannya di bawah aturan main ayahnya. Bahkan harus mengalah dan tak
berdaya di bawah arahan yang sebenarnya ia tak suka. Dengan membangkang
ia meruntuhkan sikap menurutnya. Berkali-kali mengalami bully yang
harus diterima, tak dapat ia sangkal pada penderitaannya selama
sekolahnya di taraf SMA, bahkan pula sampai dia pun dewasa.
Tak dapat dikesampingkan, bahwa perasaan
batinnya terus dihantui ketakutan. Terkadang kejadian yang tragis pernah
ia alami kembali bertarung di ingatannya, akibat simptom bully dan
pelecehan seksual yang ia terima selama kisah hidupnya----arogansi teman
sekolah, represifitas militer, preman pasar, hingga pada keberakhiran
oleh sekelompok kaum puritan yang sok suci di bawah komando teman
perjuangannya sendiri yang ia kenal baik.
Di kehidupannya ambivalensi yang bercokol,
terus menggerogoti dirinya, hingga pada suatu frase substansial yang
terus berkontradiksi di jiwanya merekam, "Manakah Kebebasan?". Tak dapat
disangsikan, bahwa yang ia terima sebagai pemasungan pada jiwanya ialah
perihal tak dapat menyenangkan dirinya, yang terus-menerus diatur
walaupun berkelebat dengan hal yang tak disukainya. Pertemanannya
bersama Jaka Wani, didapatkannya raihan genggaman kebahagiaan yang sudah
lama ia rindukan. Ia tak malu dengan penampilan yang ia gunakan, dan
menjadikan dirinya begitu gemulai persis seorang wanita, itu juga awal
kegembelannya. Hidup dalam perbedaan dengan sekian orang banyak begitu
mengajarkannya, tak lepas mungkin akan dianggap jahat, tak wajar, dan
gila, tapi toh ia menikmatinya tanpa halauan. Sampai pada nyatanya ia
putuskan studinya di bangku perkuliahan.
Kerja kerasnya bersama Jaka Wani
menghadapkannya pada berbagai persoalan tak kunjung usai; kekerasan,
penindasan, dan varian pemasungan terhadap jiwa. Mereka tak luput
mengalami kekerasan dan pembubaran paksa ketika sedang mengadakan aksi
demonstrasi di sebuah pabrik yang berlokasi di Sidoarjo, setelah apa
yang disebabkan penghilanhan paksa dan pelanggaran HAM oleh pihak pabrik
terhadap Marsini anak Cak Man dan empat teman pekerjaan seusai
memprovokasi para buruh untuk mogok dengan tuntutan kenaikan upah
kerja. Represifitas militer terhadap mereka telah mendiagnosa bahwa para
agen keamanan negara pun melakukan kejahatan yang menyeleweng serta
kesewenang-wenangannya terhadap warganya sendiri. Tidak pada kasus itu
saja; konspirasi yang dilakukan dengan sekutu para kaum yang menganggap
ahli agama telah memberikan pesan yang sangat miris. Vandalis dan aksi
pembongkarannya di atas namakan Tuhan sebagai dalilnya. Sebuah gambaran
yang ironis. Kelihaian dalam mengatur penyisiran, para aparatus negara
mendongkrak para kelompok berpanji agama agar beraksi di permukaan.
Sasana mendapatkan
gairah hidupnya kembali setelah ia mengalami pembebasan dari sebuah
rumah sakit jiwa yang sengaja ia dijebloskan oleh ibunya sendiri agar
direhabilitasi. Pendekatannya bersama Masita yang salah seorang perawat
telah menenangkan jiwanya sementara dari ketekutan yang selalu hadir dan
membayanginya, apalagi yang ia alami luruh ketika Banua teman
sependekamannya di rumah sakit mati dengan cara bunuh diri sebagai
perihal kebebasannya. Keseringan bercakap dengan Masita-lah ia dapat
melirik kembali kebahagiaan.
Namun di sisi selainnya adalah Jka Wani yang terpisah
dengan Sasana setelah insiden penangkapan mereka di aksi demonstrasi
kala itu, terkulai dan menjalani kehidupan yang baginya begitu asing,
harus diperintah. Tak hanya itu, kelakuan yang bejat menurunkan moral ia
perhatikan dengan matanya sendiri. Sebagai buruh pabrik yang mempunyai
atasan arogan, terpaksa mau tak mau pengorbanan dan usaha ia lakukan,
sampai dipecat pun ia terima, yang terpenting kebenaran ia junjung. Jaka
Wani yang hidup begitu lemah dan simpatik terhadap seseorang yang
mengalami kesusahan dia dekati dan mengupayakan diri sebagai temannya.
Pengalaman pada
hidupnya yang selalu hadir dalam ingatannya, ialah Elis seorang PSK yang
sempat di pecat karena melawan setelah mengalami tindakan intimidasi
yang tak karuan di sebuah kafe tempatnya bekerja, juga Sasana yang tak
luput adalah teman yang telah dianggap sebagai adiknya sendiri yang
telah begitu lama waktu ia habiskan bersama mengamen di Malang. Hingga
pada akhirnya Jaka Wani mengubah pola hidupnya dengan bergabung para
kelompok berjubah surban yang mengedepankan perjuangan demi agama dan
atas nama kebenaran Tuhan. Menerobos segala yang dianggap bi'dah dan
kejahatan, diserang lalu dihancurkannya. Stereotip normatif menjadi
keyakinan dasar moral yang ambigu. Sebuah evolusi diri yang katanya
sudah menjanjikan, ini ilusif.
Sebuah panorama yang memperlihatkan gejolak jiwa yang saling
bertubrukan, diantara keinginan hasrat tubuh Sasana sebagai Sasa dan
jiwanya yang meronta menggelepar terpasung. Disisi lain Jaka Wani yang
telah menjauhkan dan melupakan masa lalunya yang gemerlap, menginginkan
transformasi pada kehidupannya yang lebih baik. Tetapi, ketika mereka
berdua telah bertemu kembali----dimana Sasana telah menjadi seorang
biduan profesional yang telah lama dinantikannya dan menohok terkenal
yang kini ia menitinya sebagai awal karier kebesarannya. Yang bertemu
dengan kawan lamanya si Jka Wani yang kini sebagai salah satu orang dari
kelompok yang berpanjikan agama sebagai dalih agar mendapatkan
legalitas penyisiran berbagai tempat yang menandakan maksiat. Pertemuan
inilah hatinya berkecamuk dan tertegun heran, yang harus berembuk dengan
keterpaksaannya yang tak kenal siapa pun. Lirih nan kecewa yang
disematkan pada diri Sasana telah mengoyak batinnya. Bahkan sampai di
sebuah persidangan untuk memutuskan hukuman, pun Sasana terisak olrh
kenihilan. Ibunya tak kalah jengkel, harus merasakan pula kesakitan hati
dan fisik yang dialami anaknya, sampai ia begitu murka. Lalu putusan
hukuman pun dijalani, setelah Sasana melakoni pengobatan dan pemeriksaan
yang menyengsarakannya dikarenakan pemukulan yang dilakukan oleh
kelompok Jaka Wani terhadapnya.
Nuansa kekecewaan tumbuh dalam naluri di
keduanya. Bahkan Jaka Wani merasa terhina dengan ulahnya sendiri. Hingga
ia memutuskan untuk bersikap empati, walaupun dirinya telah terlena
dengan sikap ambiguitasnya. Ini dikarenakan suatu fenomena yang ia alami
ketika kelompoknya menyerang sekte lain dengan agama yang sama,
peristiwa yang tragis dan penumpahan darah tak dapat dibendung. Ia
hendak beranjak menemui Sasana dalam pendekamannya di sel, lalu memohon
maaf dan merasa bersalah dengan keputusan yang ia telah rumuskan.
Akhirnya dengan cara liciknya, memakai jubah surban maksud menyamar dan
mengajak Sasana keluar dari sel dengan alasan demi pengidentifikasian
yang berpura-pura, mereka pun lolos dengan keberanian yang dituangkan.
Kebebasanlah yang mereka terima terlahir dari proses yang ia
perjuangkan.
Novel ini memiliki keunggulan pada sebuah kisahnya yang tak
carut-marut ketika bernarasi. Plot yang dihadirkan begitu memantik para
jiwa yang mengembara dalam kehidupan. Penerusan hilir yang bermuara pada
perjuangan memiliki fragmen tersendiri ketika bermain dengan sebuah
epos yang berjalan.
Memiliki kekurangan yang tidak begitu signifikan. Latar belakang yang
tak mapat, direcoki dengan ambiguitas. Seperti halnya Virginia Woolf
bercerita, para tokohnya tak begitu kompleks teridentifikasi lebih
lanjut. Hanya ada perwujudan yang tak terlalu semrawut. Novel yang
memikat, memiliki latar belakang tempat yang banyak, hingga tak
menjenuhkan dan statis. Alurnya pun berselang-seling antara Sasana dan
Jaka Wani bagaikan menyimpul satu sama lain.
Inilah novel yang berkisah perjuangan anak manusia, yang menerobos
pertanyaan fundamental, "apakah kebebasan itu?" yang menjadikannya
pegangan untuk menerawang masa depannya. Bahwa belenggu selalu ada di
seluruh kehidupan, kekuasaan, tubuh, ekonomi, budaya, sosial, bahkan
sampai paling mendasar agama. Layak dibaca oleh siapa
pun, apalagi bagi mereka yang sngat tergetar ketika melihat mirisnya
kehidupan, dari kekcewaan hingga garis penindasan. bahasanya dengan
diksi yang umum dan mudah, sangat fenomenal.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar