Rabu, 22 Oktober 2014

Perennial Pandang Raya

         Di arena kehidupan, perjuangan adalah sebuah keilhaman yang selalu ada. Bukan aebagai panggung sandiwara, candaan, ataupun hal yang disepelekan. Keberadaan hidup itu dinamis, tidak akan berhenti di titik yang sama untuk menaati statis, tapi ada hal yang memiliki beberapa konten untuk merefleksikan kehidupan. Daripada itu perjuangan harus ditegakkan diantara kehidupan yang semakin merusak.

             Perjuangan bisa dengan bentuk dan berbagai varian apapun. Selamà perjuangan itu diindahkan---dengan itu kehidupan dapat distabilkan dengan konstan. Kita tak dapat bertahan di dalam sebuah keberadaan tanpa ada perjuangan yang maujud. Di belahan dunia, bahkan sampai di pelosok-pelosok yang paling terdalam diantara kehidupan manusia, perjuangan selalu hadir dan selalu dilaksanakan, walaupun dengan wajah dan bentuk yang berbeda.

             Tak dapat dipungkiri, sebuah kehidupan yang dilancarkan oleh para manusia bebal dan bengis santlah merugikan. Lalu buat apa diam dan tertegun tanpa menoleh apapun. Sebaiknya kita mencoba menoreh tetesan baru dan mencoba melakukan perlawanan terhadap manusia yang mengalami kegundahan dengan kerakusannya. Saya tak akan jauh membuat narasi yang akan kuceritakan diantara para manusia. Kesaksian tidak akan abadi, jika hanya berakhir pada mata. Ia harus disegarkan dan dikeluarkan agar bisa menjadi perjuangan selanjutnya---selamanya. Dan saksi yang diorasikan dan didokumentasikan dalam sejarah, lalu disebar kemana-mana adalah bukti suatu perjuangan yang tetap hidup. Walaupun terkadang sejarah menyembunyikannya, tapi toh kebenaran tetap abadi.

             Ada cerita yang bukan hanya sebuah fragmen tanpa ada de facto. Ia adalah narasi keabadian yang sampai saat ini, bahkan akan selamanya hidup. Yaitu perjuangan Pandang Raya yang berlokasi di tengah-tengah himpitan bisingnya kota Makassar, Sulawesi Selatan (celebes). Berawal dari lebih 10 tahun yang lalu, warga Pandang Raya yang berlokasi di tempat mengalami keguncangan akan ada sebuah isu tentang maraknya penggusuran yang mulai mengendap ke tempat tinggalnya. Tapi, para warga Pandang Raya tak bergeming dan tak goyah sedikitpun. Sekitaran tahun 1998 adalah awal hadirnya pengklaiman lahan sengketa Pandang Raya. Dengan seotang penggugat adalah juga seorang pemodal mencoba berkelakar sertaa mengklaim atas tanah seluas 4900 m2 yang dihuni sebanyak 46 KK. Diduga yang sampai saat ini teridentifikasi dari seorang nama yang ada dibalik kejahatan pemodal itu adalah Goman Waisan, yang mencoba mengklaim dan menghugat pemukiman warga.

              Hari-hari terus berlalu, berbulan-bulan, hingga sampai bertahun-tahun perjalanan perjuangan warga tetap bertahan. Dan selalu saja proses hukum dalam klaim suatu kepemilikan tanah selalu dan selalu berlangsung timpang dan tidak berimbang, sehingga para warga selalu saja menerima vonis yang menyebabkan segalanya tidak diketahui apa yang terjadi di belakangnya. Niscaya kebenaran selalu ada, buktinya dari pengalaman eksekusi yang terus berlangsung selalu mengalami kegagalan. Keberlangsungan eksekusi diawali pada tanggal 12 November 2009, yanh kefua berlangsung 30 November 2009, dan eksekusi yanh ketiga berlangsung pada 23 Februari 2010. Dan selalu saja eksekusi yang dilaksanakan terjadi kegagalan dikarenakan cacat hukum dan proses pengadilan yang cacat pula.

               Para warga Pandang Raya dam seluruh kawan-kawan yang selalu setia pada perjuangan dan yang telah membentuk selama ini Aliansi Masyarakat Anti Penggusuran (AMARA) tak akan menyerah sampai kapanpun. Perjuangan kami berkobar dan terus membesar dengan kesetiaan kami pada kebenaran. Bahkan kawan-kawan AMARA sebelumnya telah merilis sebuah pernyataan sikap, yang berisikan poin-poin penting yang dicantumkan bahwa tanah warga Pandang Raya tak dapat dieksekusi:
1. Lokasi yang diklaim oleh pihak penggugat (persil No S2 a. SII Kohir No 2160.CI.Lokasi Jalan Hertasning Kelurahan Panaikang, Kecamatan Panakukang) sangatlah berbeda dengan lokasi yang dihuni oleh warga tergugat/pandang raya (No. Persil S251 Kohir 124ICI Kelurahan Pandang, Kecamatan Panakukang). Dan ini telah diperkuat oleh surat keterangan kantor kelurahan pandang yang telah ditandatangani oleh lurah yang tetkait.
2. Pernyataan yang ada dalam surat keterangan oleh camat panakukang tertanggal 16 Desember 2009 yang telah ditandatangani oleh camat A. Bukti Djufri SP, M, Si dengan menyatakan bahwa lokasi pihak menggugat (Goman Waisan) tidak ada dalam buku F di kantor kecamatan panakukang dan persil kohir warga sangatlah berbeda dengan apa yang tercantum pada objek eksekusi.
3. Klaim pihak penggugat yang telah menyatakan serta melakukan pembelian dan pengukuran tanah bersama pemilik atas nama H. Abd. Asis Bunta ditahun 1994 adalah palsu dan kebohongan yanh dusta. Karena pemilik tersebut telah wafat di tahun 1993 yang dibuktikan dengan surat kematian.
4. Dan selanjutnya begitu banyak bukti administratif tertulis yang turut mendukung surat keterangan dari kelurahan pandang tentang objek yang salah sasaran. Misalnya, surat pernyataan Kepala BPN, H. M. Natsir Hamzah, MM. Tertanggal 18 Desember 2009: surat rekomendasi KOMNAS HAM No. 727/K/PMT/III 2010  tertanggal 30 Maret 2010 yang meminta Mahkamah Agung RI untuk menindaklanjuti laporan dari LBH Makassar sebagai kuasa hukum AMARÀ: Fatwa Mol No. 262/PAN :145/C/10/FK.RED tertanggal 20 April 2010 yàng meminta PN Makassar selaku eksekutor tanah warga Pandang Raya untuk memperjelas lokasi objek eksekusi yang dianggap salah alamat oleh penasehat hukum tergugat.
Namun apa yang direkomendasikan tak pernah diindahkan dan di proses selayaknya. Hingga surat keterangan eksekusi keluar lagi pada tanggal 12 September 2014.

             Warga Pandang Raya tidak akan pernah menyerah sampai kapanpun. Walaupun kami tetap merasakan ancaman dan kedustaan yang disodorkan oleh pemodal dan negara, kami tetap bertahan dengan perjuangan kami dan kebenaran. Ditengah kebisingan kota yang coba kita amati dari pemukiman warga yang sederhana namun nampak begitu indah nan damai---kami selalu melihat  bahwa memang dunia sedang-sedang tidak baik-baik saja. Kota yang selalu dirias dan dikemas segala rupa miniatur yang coba dilukiskan dengan kebohongan dan kerakusan antar negara dan para korporasi pemodal selalu saja bersolek dengan hasrat sensualnya yang menjijikkan. Apakah demi pembangunan harus ada korban? Kami tak percaya dengan pembangunan yang seperti itu. Kami lebih mencintai kemanusiaan yang dapat hidup bersama saling berbagi bersama alam. Kami membenci dan mengutuk pembangunan yang melahirkan korban.

                 Tempat pemukiman warga Pandang Raya berdiri di tengah himpitan gedung-gedung yang merias kota. Tapi bukan berarti bahwa kami seenaknya disingkirkan disebabkan sebuah paembangunan yang didasari oleh kaum pemodal. Kami memiliki anak yang harus sekolah dan berpendidikan selama ini. Kami memliki perempuan-perempuan yang harus dijaga dengan stabilitas kehidupan. Para lelakinya telah bekerja dengan mencari nafkah di tempat yang telah lama kami beradaptasi dengan matapencaharian kami disini. Walaupun pekerjaan kami sederhana dari kehidupan masyarakay miskin kota yang harus berjuang. Dengan ini kami mengecam kepada pemodal dan negara, dan selalu kami ingatkan kepada kalian bahwa objek sasaran eksekusi sanhatlah salah. Kami tidak akan menyerah. Sebab kami layak di tempat ini. Dan tanah Tuhan untuk rakyat, bukan untuk pemodal.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar