Minggu, 12 Oktober 2014

Pengaruh Budaya Asing Terhadap Keutuhan dan Persatuan Bangsa


          Di dalam ranah kehidupan, kebudayaan adalah sub-sub yang penting dari domain kehidupan. Tidak ada sebuah peradaban yang berkembang, melejitkan sebuah kemajuan maupun yang mengalami keruntuhan akibat dilanda kebiadaban (secara internal ataupun eksternal) tanpa didasari sebuah kebudayaan. Sejarah panjang telah mendeskripsikan sebuah peta kebudayaan dari latar belakang manapun. Mulai dari kebudayaan itu melesat mengalami perkembangan, hingga ada pula yang mengalami keruntuhan lalu lenyap, sehingga hanya ada artefak-artefak dan hasil-hasil arkeologis lainnya yang menandakan adanya sebuah kebudayaan yang tertimbun dan telah hilang. Daripada itu adapun akuisisi yang mengadopsi sebuah kebudayaan, yang antara lain adalah perihal sebuah transformatif kebudayaan yang diiringi dengan kultur yang lama.

           Jika penemuan-penemuan arkeologis adalah sebuah simbol dari pengklaiman bahwa adanya sejarah kebudayaan yang mengalami keruntuhan, itu dikarenakan lahirnya intervensi antar-kebudayaan; selain memiliki alasan bahwa telah hilangnya perasaan emosional terhadap etnis tertentu. Dilihat dari sudut pandang sosial politis yang terkait dengan lahirnya intervensi kebudayaan, disebabkan oleh memulainya peristiwa penyebaran ajaran yang akan menghasilkan dampak; antara lain pemerolehan sintesis dan dialektika silang kebudayaan. Sebaliknya, yang memberikan gejala lain dari sebuah intervensi kebudayaan, ialah dampak yang akan lebih mengerikan. Adalah kebudayaan yang memiliki hasrat menguasai, sehingga menempatkan pemusnahan di tubuh etnisitas tetentu. Gejala inilah yang memberikan traumatik dan ancaman yang terkadang sebahagian masyarakat menjauhkan dirinya dari emosional kebudayaan. Inilah dampak dari invasi dan ekspansi yang akan mengakibatkan eksekusi antar kebudayaan. Namun ini tak dapat dinegasikan, bahwa pengaruh-pengaruh budaya terhadap budaya lain tidaklah memiliki kepastian apa dampaknya. Dampak ataupun gejala apa yang akan diperoleh hanya dapat diatasi oleh bagaimana kuatnya resistensi dari sebuah budaya.

           Apabila kita merunut sejarah, kita menemukan penyusuran peta-peta yang mengindikasikan jalur-jalur kebudayaan. Memberikan informasi dari segala faktor serta rangkaian formulasi yang memetakan peristiwa intervensi kebudayaan. Misalnya, rangkaian dari metodologi cara penyebaran kebudayaan Islamis kepada setiap wilayah (tersebar diman-mana tanpa adanya batas geografis maupun teritorial), tidak harus membasmi dan memusnahkan dari setiap budaya leluhur yang telah menetap dari setiap wilayahnya.Yang awalnya masyarakat pribumi menganut kepercayaan animisme dan adapula yang mengkultuskan keyakinan pagan anti-semitisme, selain itu ada yang Majusi. Namun, kebudayaan Islamis telah mampu bersimpatik kepada khalayak umum. Sejarah panjang telah mencatat, bahwa selain adanya kekisruhan antar-agama maupun kebudayaan yang di provokasi oleh agen-agen tertentu, ia mampu mengadaptasi ke setiap wilayah manapun dengan berbagai cara yang mampu diterima oleh berbagai kalangan masyarakat. Bahkan lebih dapat menuai sebuah transformatif yang menyandingkan sub-kultur tanpa menciptakan rasisme dan fasisme di bagian tertentu. Etos Islamis mampu mengakomodir kebudayaannya yang didasari oleh agamis dengan menggeluti setiap persilangan antar etnis, misalkan kemampuannya memadukan kulturalnya dengan kebudayaan Persia, Mesopotamia, Babylonia, Yunani Kuno, Alexandria, Konstantinopel, Andalusia, bangsa-bangsa di Europe dan bangsa-bangsa yang ada di benua Asia, bahkan sampai saat ini mengalami dinamika yang menyebar di bangsa manapun.

           Dari gradasi tahapan proses yang telah menyemaikan pengaruh budaya asing terhadap sebuah bangsa pribumi, terkadang memberikan kekecewaan yang tak kalah mirisnya dari intervensi kebudayaan. Pada dasarnya budaya asing memiliki landasan yang sama terkait bagaimana mempengaruhi setiap budaya yang ada dari luar dirinya. Ia memiliki akses penyebaran yang terorganisir di dalam pengaturannya. Namun daripada itu, sebuah arogansi mampu di abdikan di dalam ketentuan-ketentuan dan kepentingan tertentu. Metodologi baru sebagai proses penyebarannya telah memberikan kondisi dan kecenderungan yang berbeda dari tindakannya. Perihal situasi yang krusial telah menerka dan mengganggu stabilitas sebuah bangsa, bukan saja pada ranah itu. Bahkan keharmonisan suatu budaya harus mengalami pengikisan secara gradual.

          Jika di mana modernisme dan westernisasi yang didasari sekularisme mengalami perluasan bahkan menyentakkan arogansinya dengan habitus adikuasa-nya yang otoriter kepada bangsa-bangsa dunia ketiga yang masih menjaga estetis kultur leluhurnya, ini akan mengakibatkan efek yang sangat serius terhadap pengikisan bahkan mengalienasi masyarakat yang mencoba melestarikan budayanya. Bukankah Kongsi Perdagangan Hindia Timur (Vereenigde Oostindische Compagnie atau VOC) telah memberikan suplemen gambaran yang merugikan sepanjang invasinya. Pengambilan rempah-rempah, menyiksa para masyarakat pribumi, dan memonopoli dengan sedemikian rupa hingga harus mengorbankan begitu banyak nyawa selama masa kolonialismenya 3 setengah abad di tanah Indonesia. Para masyarakatnya yang pada mulanya bersatu melawan penjajahan ini dapat diterka dengan memberikan isu perang saudara, hingga pengaduan domba menyergap di tengah masyarakat pribumi.

              Lalu apa yang terjadi dengan pengaruh budaya asing kepada masyarakat pribumi Indonesia di mana masa ketika kecenderungan sebahagian dunia mengambil alih paham Komunisme, setelah beranjaknya Marxisme di dunia yang membutuhkan perlawanan kepada bangsa-bangsa yang berandil di negara-negara yang ingin berkuasa. Sebenarnya ini adalah tindakan yang mengecewakan dan kesalahpahaman yang benar-benar tak berdasar dari teori Komunis, namun tendensius ini telah direduksi menjadi ideologi oleh segelintir orang yang menjustifikasi sebagai Marxis. Misalnya, bagaimana pengaruh budaya Komunisme di Uni Sovyet yang di pimpin oleh Stalin dan diorganisir oleh Vladimir Lenin pasca revolusi Bolsheviks yang diakhiri dengan pengkhianatan, telah mempengaruhi proses pergerakan para pemberontak yang bergaun Komunis di Indonesia. Yang di pimpin oleh D. N. Aidit, Musso serta ada Semaoen melakukan pemberontakan yang terjadi di Madiun dan di beberapa titik tempat selama jangka periode yang berbeda.

              Setelah itu budaya asing dengan wajah yang berbeda pun meraup tanah pertiwi dengan adanya konspirasi di antara perselingkuhan para orang petinggi Indonesia dengan pihak asing. Organisasi-organisasi pun ikut terlibat dalam peranannya sebagai tokoh eksekusi yang tak kenal ampun. Sebahagian masyarakat yang melibatkan diri dalam agenda dan menganut paham Komunisme, ia harus mengalami insiden yang mengenaskan oleh bangsa dan masyarakatnya sendiri. Pembantaian dan pembunuhan secara brutal telah terjadi di mana-mana, antara lain di Sumatra, Jawa, Kalimantan, Bali, dan daerah lainnya. Soeharto sebagai petinggi berikutnya pun mengambil alih kebijakan negara setelah masa transisi yang dia sendiri adalah dalang konspirasi dengan pihak asing (adalah intervensi Amerika Serikat, CIA). Rezim orde baru dipenuhi dengan ancaman dan ketakutan yang mendalam, yang di rasakan oleh masyarakat pribumi. Namun apa yang terjadi. Fakta yang berkembang adalah ketidakmerataannya kesejahteraan bangsa. Bangsa Indonesia yang kaya sumber daya alam dan memiliki badan usaha sendiri harus dinikmati oleh pihak asing, dan di jual dengan korporasi kapital yang merambah sampai ke kultur Indonesia. Bahkan beberapa orang Indonesia yang menjadi agen mafia berkeley seperti Sumitro Djojohadikusumo, Emil Salim, Ali Wardhana dan para agen lainnya memporak-porandakan signifikansi bangsa Indonesia, dengan alasan bahwa akan menstabilkan bangsa, namun yang terjadi adalah dampak yang mengecewakan berkepanjangan.

              Bukan saja itu, setelah berakhirnya orde baru pengaruh budaya asing tidak berhenti di sini. Formulasi yang berkecamuk dalam ranah kebudayaan memiliki wajah yang paling baru. Trem-trem yang mempengaruhi mindset masyarakat luas hampir rata menerimanya tanpa adanya pertimbangan. Misal, budaya konsumeris yang menyebar di dunia, telah di pasok ke dalam negeri, yaitu budaya-budaya yang ada di Indonesia. Kultur yang diturunkan oleh leluhurnya mulai terkikis dan tersudutkan oleh perkembangan westernisasi. Lalu bagaimana dengan budaya lokal yang mulai terkikis?

               Persatuan bangsa dan keutuhan dapat terjaga, jika suatu resistensi dengan terjaganya budaya lokal yang ada di seluruh penjuru Indonesia. Kita tak dapat menegasikan dan memungkiri bahwa hal ihwal peradaban yang berkembang laju global kita mencoba menutup diri. Namun ada yang namanya pembukaan diri dan mengenalkan budaya lokal kita. Di antara varian budaya yang ada di Indonesia memiliki landasan yang sama, yaitu mencintai kemanusiaan dan alam semesta agar tetap lestari. Untuk apa kita memakai kelimpahan yang ada pada budaya westwrnisasi yang memang pada dasarnya di dorong oleh kepentingan akumulasi modal dan pengeksploitasian sebuah bangsa di dunia ketiga.  Kecuali kita memakai dengan dasar kebutuhan, bukan sebagai faktor kesengajaan yang seolah-olah dibutuhkan karena setelah media mencoba mempromosikan, terus kita memakai dan ingin menggunakannya. Ini adalah alienasi. Sebab itu bukanlah kebutuhan yang fundamental.

             Terus tak ada bedanya dengan budaya asing yang berlatar belakang asia, contoh Korea yang mengidentifikasikan budaya pop yang merembet sampai ke kehidupan seharian, bahkan harus menjadi rutinitas bagai sebuah ritus keagamaan. Ini adalah kesenjangan yang harus dirubah dengan paradigma yang terkontrol. Budaya Hindu di mana kemenangan revolusi India dikarenakan para masyarakatnya bersatu dan bersepakat bahwa barang milik kolonial Inggris tak perli di pakai, inilah kegagalan yang dialami kolonial. Pada dasarnya kita telah berbeda dari sisi kebudayaan, sosial, geografis, dan kemasyarakatannya. Lalu untuk apa mempertahankan budaya asing yang hanya mencoba mencakup kekayaan dan melakukan akumulasi pemberdayaan dengan kepentingannya sendiri. Keutuhan dan persatuan bangsa tidak akan terjamin tanpa adanya kemerdekaan sepenuhnya sebuah bangsa. Kita merasa seolah-olah merdeka, namun dibalik itu kita telah menjadi masyarakat konsumen di dunia ketiga ini. Kemiskinan menelan berbagai perihal-perihal kebebasab dalam bermusyawarah, sebab ketundukan secara tak sadar telah teragitasi oleh kemapanan budaya pop. Secara psikologis dan fisikal hingga terpengaruh sampai ke sum-sumnya. Inilah yang perlu di verifikasi dan dievaluasi kembali nalar budaya populer dan kesenjangan budaya asing yang menegasikan sendi-sendi penting kehidupan.
                               sumber gambar: google. mengidentifikasikan kecemasan the lokal wisdom terhadap budaya asing yang merugikan.

             Saya tak akan memberikan kesimpulan yang statis. Di balik dari semua pernyataan yang kudeskripsikan sebagai narasi dari beberapa fragmen, tak semestinya berhenti di titik yang salah. Perlu dan pentingnya aktualisasi yang mampu di upayakan demi sebuah keutuhan dan persatuan bangsa di tingkatkan, bukan saja di ranah antar kelompok hanya sebagai masyarakat bangsa Indonesia. Harus mementingkan bagaimana kita mampu bersimpati, dan toleransi antar budaya lokal dan agama saling terjalin di antara kita.


"Tulisan ini dibuat untuk mengikuti Unidar Blog Competition 2014 dalam rangka memperingati Hari Sumpah Pemuda yang ke-86 tahun 2014. Tulisan adalah karya saya sendiri dan bukan merupakan jiplakan.“

Tidak ada komentar:

Posting Komentar